Minggu, 12 Januari 2014

Titik Nol, Awal dan Akhir


Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali …

Itulah sebaris kalimat yang membuat gue termenung, sebaris kalimat yang sedikit banyak menyindir gue. Lewat buku Titik Nol, Agustinus Wibowo, berhasil menyindir gue, berhasil mengungkap sisi lain dari sebuah perjalanan, entah itu perjalanan dalam arti sebenarnya maupun “perjalanan” yang lain. Yang bikin gue betah untuk terus membuka lembar demi lembar halaman ialah uniknya sisi pandang Agustin dalam melihat suatu perjalanan. Awalnya gue kira buku ini kaya buku-buku travel guide yang biasa, yang isinya list tempat wisata recommended, budgeting trip, itinerary, dan segala tetek bengek tentang travelling maupun backpacking. Lumayan, pikir gue, buat nambah-nambah info tentang dunia jalan-jalan gue. Ternyata, semua salah besar HAHAHA. 

Titik Nol - Agustin Wibowo
Agustin menyadarkan gue bahwa travelling atau backpacking atau flashpacking atau apapun namanya ga melulu menggambarkan keindahan tempat wisata, bagaimana menekan budget seminim mungkin, ambil foto sebanyak mungkin terus pamer di social media tapi Agustin bener-bener menyelami perjalanannya, membuat segala yang ia hadapi seolah-olah dirasakan juga oleh pembacanya, bagaimana ia menghadapi kejamnya Tibet, dinginnya pegunungan Nepal, semrawutnya India, luasnya dataran China hingga terror mengerikan di Afghanistan. Penggambarannya begitu nyata, penggambarannya begitu real. Bagaimana ia sukses mengubah sisi “aku” menjadi “kita”, “mereka” menjadi “kami”. Agustin benar-benar pandai menguak sisi sensitif dari segala cerita masyarakat lokal setempat. Bagaimana ia belajar tentang kearifan lokal, tentang filosofi hidup bahkan hingga hal yang paling sensitif, agama.
Yang membuat buku ini tambah menarik bagi gue ialah bagaimana Agustin menggambarkan kegalauan, kegundahan serta kebimbangan hatinya ketika homesick menyerang, hal yang wajar bagi pejalan yang telah lama jauh dari kehangatan keluarga, jauh dari rumah. Apalagi ketika dia mendapat kabar bahwa Ibunda tercinta didiagnosis menderita kanker. Dengan pandai, Agustin menyisipkan sekelumit cerita masa kecil, cerita tentang keluarga kecilnya, hingga cerita bagaimana perjuangan sang Ibunda melawan kanker yang terus menggerogoti tubuh hingga menjelang ajal menjemput sang Ibunda. Seketika emosi sedih, haru hingga bangga pun ikut gue rasakan. Karena sejauh apapun kita pergi, sejauh apapun kita melangkah, keluarga merupakan tempat kita kembali, tempat kita memeluk kebahagiaan hakiki.

                “ Ma, Safarnama itu bukan melulu tentang kisah-kisah eksotis. Perjalanan itu bukan hanya soal geografi dan konstelasi, perpindahan fisik, lokasi dan lokasi. Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri dari sudut yang selalu baru, adalah menyadari  bahwa Titik Nol bukan berhati berhenti di situ. Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan, yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada ialah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali” – Sepenggal surat Agustin untuk Ibunda tercinta.
Mungkin sebagian dari kalian menganggap gue lebay, terlalu mendramatisir dalam menceritakan isi buku ini. So, read this book and see the magic happens. HAHAHA. Thanks to Bundo Hesti yang sudah mengenalkan buku ini ke gue, sekarang waktunya gue mengenalkan buku ini ke kalian semua. The last but absolutely not least, big thanks to Agustin Wibowo for the amazing journey you have shared to us. Thank you for your Titik Nol.

@agzthermawan

2 komentar: